KISAH TSABIT BIN IBRAHIM

>> Saturday, March 19, 2011



Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebiji apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergolek di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannya buah apel yang lazat itu.

Akan tetapi baru setengah buah epal tersebut di makan, dia teringat bahawa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin untuk memakannya dari pemiliknya. Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan harapan hendak menemui pemiliknya, agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.

Di kebun itu Tsabit bin Ibrahim bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini."
Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam".
Namun Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku kerana tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari makanan yang haram, maka ia lebih layak menjadi santapan api neraka".

Tsabit bin Ibrahim pergi juga ke rumah pemilik kebun itu. Setiba di sana,Tsabit bin Ibrahim terus mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit bin Ibrahim memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak dapat menghalalkannya kecuali dengan satu syarat". Tsabit bin Ibrahim merasa khawatir dengan syarat yang bakal di berikan itu karena takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini puterimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menjawab pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus tahu puteriku itu seorang yang buta, bisu, dan pekak. Lebih dari itu puteriku juga seorang yang lumpuh!"

Tsabit bin Ibrahim amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia kahwini dan dijadikan sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya?

Kemudian pemilik kebun itu berkata lagi, "Selain syarat itu aku tidak dapat menghalalkan apa yang telah kau makan !"

Namun Tsabit bin Ibrahim kemudian menjawab dengan penuh yakin; "Aku akan menerima pinangan dan perkawina ini. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meredhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu memanggil dua orang saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit bin Ibrahim dipersilakan masuk menemui isterinya.

Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya pekak dan bisu, kerana malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak pekak dan bisu.

Maka Tsabit bin Ibrahim pun mengucapkan salam ,"Assalamu'alaikum..." Tidak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini rasmi telah menjadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karana wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut tangannya. Tsabit tersentak menyaksikan kelakuan isterinya ini.

"Kata ayahnya dia wanita pekak dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian bererti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".



Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau pekak. Mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat redha Allah.
Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?" Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya.

Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak perkara aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dapat menimbulkan kemurkaan Allah Ta'ala".

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat solehah dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".

Tsabit dan isterinya yang solehah dan cantik itu hidup rukun dan bahagia. Tidak lama kemudian mereka dikarniakan seorang putera yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

Dari: Darmawan Ilyas

0 comments:

Related Posts with Thumbnails

MAsjid Al-Huda's Fan Box

Masjid Al-Huda on Facebook

Apa pandangan anda dengan blog ini?

About This Blog

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP